... Aku dan Kekagumanku pada Pesawat ...

Dalam angan - angan manda kecil dulu, pesawat terbang, dan pilot adalah 2 hal yang sangat menakjubkan. Burung besi yang besar dan berat itu bisa terbang di udara. Dan sosok pilot adalah sosok yang paling di kagumi, apalagi setelah ia mengetahui betapa hebatnya sebuah pesawat tempur. Burung besi itu bisa meliuk - liuk dengan lincahnya di udara. Membawa persenjataan yang tak kalah beratnya. Manuver - manuver hebat yang membuat musuh tak berkutik. Sayangnya aku tidak di ijinkan untuk menjadi seorang Pilot. Tapi itu tidak menyurutkan rasa ingin tau ku terhadap teknologi pesawat, apapun, baik sipil maupun tempur. Dan sekarang aku berbagi di Blog ini …

Monday, June 9, 2008

... spesifikasi F16 ....


F 16 Fighting Falcon




Karakteristik umum

  • Kru: 1
  • Panjang: 49 ft 5 in (14.8 m)
  • Lebar sayap: 32 ft 8 in (9.8 m)
  • Tinggi: 16 ft (4.8 m)
  • Area sayap: 300 ft² (27.87 m²)
  • Airfoil: NACA 64A204 root and tip
  • Berat kosong: 18,238 lb (8,272 kg)
  • Berat terisi: 26,463 lb (12,003 kg)
  • Berat maksimum lepas landas: 42,300 lb (16,875 kg)
  • Mesin:Pratt & Whitney F100-PW-220 afterburning turbofan
    • Dorongan kering: 14,590 lbf (64.9 kN)
    • Dorongan dengan afterburner: 23,770 lbf (105.7 kN)
  • Alternate powerplant:General Electric F110-GE-100 afterburning turbofan
    • Dry thrust: 17,155 lbf (76.3 kN)
    • Thrust with afterburner: 28,985 lbf (128.9 kN)

Performa

  • Kecepatan maksimum: >Mach 2 (1,320 mph, 2,124 km/h) at altitude
  • Radius tempur: 340 mi (295 nm, 550 km) on a hi-lo-hi mission with six 1,000 lb (450 kg) bombs
  • Jarak jangkau ferri: >3,200 mi (2,800 nm, 4,800 km)
  • Atap servis: >55,000 ft (15,000 m)
  • Tingkat panjat: 50,000 ft/min (260 m/s)
  • Wing loading: 88.2 lb/ft² (431 kg/m²)
  • Dorongan/berat: F100 0.898; F110 1.095

Persenjataan

Sunday, June 8, 2008

... Fighting Falcon ...

F 16 Fighting Falcon



F-16 Fighting Falcon adalah jet tempur multi-peran yang dikembangkan oleh General Dynamics, di Amerika Serikat. Pesawat ini awalnya dirancang sebagai pesawat tempur ringan, dan akhirnya berevolusi menjadi pesawat tempur multi-peran yang sangat populer. Kemampuan F-16 untuk bisa dipakai untuk segala macam misi inilah yang membuatnya sangat sukses di pasar ekspor, dan dipakai oleh 24 negara selain Amerika Serikat.[1] Pesawat ini sangat popular di mata international dan telah digunakan oleh 25 angkatan udara. F-16 merupakan proyek pesawat tempur Barat yang paling besar dan signifikan, dengan sekitar 4000 F-16 sudah di produksi sejak 1976. Pesawat ini sudah tidak diproduksi untuk Angkatan Udara Amerika Serikat, tapi masih diproduksi untuk ekspor.

F-16 dikenal memiliki kemampuan tempur di udara yang sangat baik, dengan inovasi seperti tutup kokpit tanpa bingkai yang memperjelas penglihatan, gagang pengendali samping untuk memudahkan kontrol pada kecepatan tinggi, dan kursi kokpit yang dirancang untuk mengurangi efek g-force pada pilot. Pesawat ini juga merupakan pesawat tempur pertama yang dibuat untu menahan belokan pada percepatan 9g.

Pada tahun 1993, General Dynamics menjual bisnis produksi pesawat mereka kepada Lockheed Corporation, yang kemudian menjadi bagian dari Lockheed Martin setelah merger dengan Martin Marietta pada tahun 1995.

Pada tahun 1960-an, Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat menyimpulkan bahwa masa depan pertempuran udara akan ditentukan oleh peluru kendali yang semakin modern. Dan bahwa pesawat tempur masa depan akan digunakan untuk mengejaran jarak jauh, berkecepatan tinggi, dan menggunakan sistem radar yang sangat kuat untuk mendeteksi musuh dari kejauhan. Ini membuat desain pesawat tempur masa ini lebih seperti interseptor daripada pesawat tempur klasik. Pada saat itu, Amerika Serikat menganggap pesawat F-111 (yang pada saat itu masih dalam tahap pengembangan) dan F-4 Phantom akan cukup untuk kebutuhan pesawat tempur jarak jauh dan menengah, dan didukung oleh pesawat jarak dekat bermesin tunggal seperti F-100 Super Sabre, F-104 Starfighter, dan F-8 Crusader.

Pada Perang Vietnam, Amerika Serikat menyadari bahwa masih banyak kelemahan pada pesawat-pesawat mereka. Peluru kendali udara ke udara pada masa itu masih memiliki banyak masalah, dan pemakaiannya juga dibatasi oleh aturan-aturan tertentu. Selain itu, pertempuran di udara lebih banyak berbentuk pertempuran jarak dekat dimana kelincahan di udara dan senjata jarak dekat sangat diperlukan.

Kolonel John Boyd mengembangkan teori tentang perawatan energi pada pertempuran pesawat tempur, yang bergantung pada sayap yang besar untuk bisa melakukan manuver udara yang baik. Sayap yang lebih besar akan menghasilkan gesekan yang lebih besar saat terbang, dan biasanya menghasilkan jarak jangkau yang lebih sedikit dan kecepatan maksimum yang lebih kecil. Boyd menganggap pengorbanan jarak dan kecepatan perlu untuk menghasilkan pesawat yang bisa bermanuver dengan baik. Pada saat yang sama, pengembangan F-111 menemui banyak masalah, yang mengakibatkan pembatalannya, dan munculnya desain baru, yaitu F-14 Tomcat. Dorongan Boyd tentang pentingnya pesawat yang lincah, gagalnya program F-111, dan munculnya informasi tentang MiG-25 yang saat itu kemampuan dibesar-besarkan membuat Angkatan Udara Amerika Serikat memulai perancangan pesawat mereka sendiri, yang akhirnya menghasilkan F-15 Eagle.

Pada saat pengembangannya, F-15 berevolusi menjadi besar dan berat seperti F-111. Ini membuat Boyd frustrasi dan ia pun meyakinkan beberapa petinggi Angkatan Udara lain bahwa F-15 membutuhkan dukungan dari pesawat tempur yang lebih ringan. Grup petinggi Angkatan Udara ini menyebut diri mereka "fighter mafia", dan mereka bersikeras akan dibutuhkannya program Pesawat Tempur Ringan (Light Weight Fighter, LWF).

Pada Mei 1971, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan laporan yang mengkritik tajam program F-14 dan F-15. Kongres mengiyakan pendanaan untuk program LWF sebesar US$50 juta, dengan tambahan $12 juta pada tahun berikutnya. Beberapa perusahaan memberikan proposal, tetapi hanya General Dynamics dan Northrop yang sebelumnya sudah memulai perancangan dipilih untuk memproduksi prototip. Pesawat mereka mulai diuji pada tahun 1974. Program LWF awalnya merupakan program evaluasi tanpa direncanakan pembelian versi produksinya, tetapi akhirnya program ini dirubah namanya menjadi Air Combat Fighter, dan Angkatan Udara AS mengumumkan rencana untuk membeli 650 produk ACF. Pada tanggal 13 Januari 1975 diumumkan bahwa YF-16 General Dynamics mengalahkan saingannya, YF-17.

F-16 A/B

F-16 A/B awalnya dilengkapi Westinghouse AN/APG-66 Pulse-doppler radar, Pratt & Whitney F100-PW-200 turbofan, dengan 14.670 lbf (64.9 kN), 23.830 lbf (106,0 kN) dengan afterburner. Angkatan Udara AS membeli 674 F-16A dan 121 F-16B, pengiriman selesai pada Maret 1985.

Blok 1
Blok awal (Blok 1/5/10) memiliki relatif sedikit perbedaan. Sebagian besar diperbarui menjadi Blok 10 pada awal 1980-an. Ada 94 Blok 1, 197 Blok 5, dan 312 Blok 10 yang diproduksi. Blok 1 model awal produksi dengan hidung dicat hitam.
Blok 5
Diketahui kemudian bahwa hidung hitam menjadi identifikasi visual jarak jauh untuk pesawat Blok 1, sehingga warnanya diubah menjadi abu-abu untuk Blok 5 ini. Pada F-16 Blok 1, ditemukan bahwa air hujan dapat berkumpul pada beberapa titik di badan pesawat, sehingga untuk Blok 5 dibuat lubang saluran air.
Blok 10
Pada akhir 1970-an, Uni Soviet secara signifikan mengurangi ekspor titanium, sehingga produsen F-16 mulai menggunakan alumunium. Metode baru pun dilakukan: aluminum disekrup ke permukaan pesawat Blok 10, menggantikan cara pengeleman pada pesawat sebelumnya.
Blok 15
Perubahan besar pertama F-16, pesawat Blok 15 ditambahkan stabiliser horizontal yang lebih besar, ditambah dua hardpoint di bagian dagu, radar AN/APG-66 yang lebih baru, dan menambah kapasitas hardpoint bawah sayap. F-16 diberikan radio UHF Have Quick II. Blok 15 adalah varian F-16 yang paling banyak diproduksi, yaitu 983 buah. Produksi terakhir dikirim pada tahun 1996 ke Thailand. Indonesia memiliki varian ini sebanyak 12 unit.
Blok 15 OCU
Mulai tahun 1987 pesawat Blok dikirim ke dengan memenuhi standar Operational Capability Upgrade (OCU), yang mencakup mesin F100-PW-220 turbofans dengan kontrol digital, kemamampuan menembakkan AGM-65, AMRAAM, dan AGM-119 Penguin, serta pembaruan pada kokpit, komputer, dan jalur data. Berat maksimum lepas landasnya bertambah menjadi 17.000 kg. 214 pesawat menerima pembaruan ini, ditambah dengan beberapa pesawat Blok 10.
Blok 20
150 Blok 15 OCU untuk Taiwan dengan tambahan kemampuan yang serupa dengan F-16 C/D Blok 50/52: menembakkan AGM-45 Shrike, AGM-84 Harpoon, AGM-88 HARM, dan bisa membawa LANTIRN. Komputer pada Blok 20 diperbarui secara signifikan, dengan kecepatan proses 740 kali lipat, dan memori 180 kali lipat dari Blok 15 OCU.

... Kecelakaan itu Part 1 ...

Bengawan Solo

Dijadikan Landasan GA-421





Mungkin kalau mendarat di sawah atau mencoba meneruskan sisa luncuran pesawat ke Yogyakarta, kota tujuannya, atau berusaha mendarat darurat di Kota Solo, cerita Flight GA-421 Boeing 737-300 Garuda Indonesia akan lain. Justru karena Captain-in-command Abdul Rozaq memutuskan ditching di Sungai Bengawan Solo, 99 persen jiwa penumpang GA-421 terselamatkan.

Saya buat sungai (Bengawan Solo) seolah-olah runway-nya," cerita captain asal Kudus, Jawa Tengah, 29 Maret mendatang akan genap 46 tahun kepada wartawan Angkasa Dudi Sudibyo, tentang penerbangan dramatis-traumatis Ampenan-Yogyakarta-Jakarta yang tak sempat ia tuntaskan, enam hari setelah kejadiannya. Rabu sore 16 Januari 2002 sekitar pukul 16.25 WIB, warga sekitar sungai dikejutkan oleh kehadiran tiba-tiba sosok Boeing 737 yang mendarat di sungai.

Badan pesawat intact utuh! Keutuhan tubuh pesawat itulah yang membuat empat awak pesawat dan 54 penumpang, termasuk tiga bayi terselamatkan. Hanya seorang pramugari, Santi Anggraeni (26) yang sudah mengantungi 4.156 jam terbang sejak direkrut Garuda Desember 1995, tewas akibat tersedot keluar badan pesawat bersama jump seat-nya. Akibat impak cukup keras antara bagian bawah perut belakang pesawat dengan air dimana kebetulan ada benda (diperkirakan batu besar), merobek bagian tersebut. Sekejab tiba-tiba tekanan udara hilang dalam kabin pesawat. Perubahan mendadak itu, menyedot keluar Santi. Pantry maupun barang dalam ruang kargo ikut pula tersedot keluar. Jenazah Santi ditemukan sekitar 1 kilometer dari lokasi pesawat.

Sebelum ditching di Sungai Bengawan Solo, Captain Abdul Rozaq, lulusan LPPU Curug Batch 28 1980, membuat dua kali circuit sebelum mendaratkan pesawat. "Pada usaha pertama (mendarat), saya lihat tidak saja dua tapi ada beberapa jembatan di sungai itu. Ada (bagian sungai) yang lurus antara dua jembatan, kira-kira panjangnya 1.500 meter. Itulah yang saya jadikan tempat pendaratan," ujar suami Istiqomah, pramugari Garuda satu course di Kemayoran, yang disuntingnya sekitar18 tahun silam. Mereka dikaruniai lima anak. Anak sulung, 17 tahun, ikut jejak ayahnya (SMP Islam Al Ma;ruf, Kudus, Jateng 1973) mengikuti pendidikan di salah satu pesantren di Bogor. Yang bungsu baru 15 bulan.

Menurut pengakuan Abdul Rozaq yang telah membukukan 14.020 jam dan 30 menit jam terbang dimana 5.600 jam di antaranya pada pesawat Boeing 737-300, kemudi pesawat amat berat dan ia telah mempersiapkan diri agar tidak terkena kemudinya itu sewaktu pendaratan. Rupanya Heriyadi Gunawan dengan side-burn (cambang rambut) mirip penyanyi tenar Elvis Presley, kurang siap sehingga mulutnya dibuat memar terkena alat tersebut. Flap maupun roda pendarat tidak pula digunakan. "Khawatir kalau roda diturunkan, selain drag, juga kemungkinan terkena batu sungai akan menjadi lebih fatal nanti," alasannya.

Sesuai prosedur, Rozaq mencurahkan konsentrasi mengemudikan dan mendaratkan pesawat 80 ton itu sejak mesin pesawat flame out sekitar ketinggian 19.000 kaki. Ia hanya menggunakan jasa aileron untuk pendaratan darurat yang menegangkan tersebut. Sementara pendampingnya, Ko-pilot Heriyadi Gunawan berusaha menghidupkan mesin, memonitor kecepatan dan ketinggian serta standby horizon alat satu-satunya yang masih berfungsi di samping kompas.

Namun belum jelas pula apakah pada saat genting tersebut, masker oksigen keluar secara otomatis seperti seharusnya. Baik Captain Abdul Rozaq maupun Ko-pilot Heriyadi Gunawan dalam jumpa pers seminggu kemudian, tidak menjelaskan masalah tersebut. Mereka pun belum bisa menjelaskan penyebab mendadak flame out (mati)-nya kedua mesin turbofan CFM56-3C-1 buatan CFM International, pabrik patungan General Electric (AS) dengan Snecma (Prancis). Diharapkan dari kedua kotak hitam FDR dan CVR yang telah dikirim ke AS untuk dibaca rekamannya, pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lain dapat terjawab.

Di set masuk ice condition

Menurut Abdul Rozaq, sebelum memasuki cuaca buruk saat menurun ke ketinggian 23.000 kaki, pesawat sudah di set untuk masuk cuaca turbulens dengan speed turbulens 280 knot. Sesuai prosedur, tanda seat-belt dinyalakan. "Anti-ice sudah on, jadi sudah siap untuk masuk ke icing condition," jelasnya.

Angkasa memperkirakan, salah satu faktor kontributor penyebab tiba-tiba kedua mesinnya mati adalah icing. Kemungkinan air terlalu banyak masuk ke dalam mesin. Kemungkinan lain, kemasukan debu Gunung Merapi seperti yang pernah dialami oleh jumbo Boeing 747 British Airways. Saat itu keempat mesinnya dibuat mati oleh letusan debu Gunung Galunggung. Meski kecil kemungkinan, mungkinkah karena kontaminasi bahan bakarnya? Semua itu masih harus dibuktikan dan diuji serta diteliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Dalam Flight GA-421, sudah jelas faktor cuaca memegang peranan besar bagi pendaratan ditching GA-421.

Sambil menurun, kedua awak kokpit mengharapkan prosedur menghidupkan mesin dengan cara windmill start envelope dapat membantu menyalakan mesin lagi. Meski fan blade-nya berputar, tetap tidak bisa membantu menghidupkan mesin. Kemudian dicoba dengan bantuan APU (Auxiliary Power Unit/generator listrik). Ini pun menurut Abdul Rozaq tidak berhasil, malah akhirnya membuat sisa tenaga listrik hilang.

Karena masih ketinggian, Rozaq membuat satu putaran lagi untuk menurunkan ketinggian dan memposisikan pesawat pada arah downwind (sejajar dengan "landasan"). "Kemudian saya masuk. Entah bagaimana, saya pun tidak mengerti, sudah mendaratkan pesawat (di air). Tidak pakai roda pendarat, tidak pakai flap segala macam karena memang kondisinya begitu," jelasnya.

"Waktu mendarat (dengan mendongakkan hidungnya ke atas sehingga bagian buntut menyentuh permukaan air lebih dahulu, Red), saya merasakan pesawat seperti kena benda, mungkin batu. Impaknya (dengan air), Alhamdullilah tidak sekeras impak hard landing sampai-sampai penumpang tidak merasakan (pendaratan hard landing). Kemudian terasa sebelah kiri (bawah) terkena batu yang membuat pesawat membelok ke kanan dimana ada tanggul dan pesawat langsung naik (di atasnya)," tutur Abdul Rozaq mengenai detik-detik pesawat mendarat dan berhenti.

Benturan dengan batu untuk kedua kali itu, membuat sobekan di perut kelas bisnis dimana seorang penumpang wanita terperosok di dalamnya. "Dari dalam lubang seperti sumur itu, kami semua membantunya keluar. Karena arusnya deras, jadi susah mengeluarkan ibu itu dari dalam lubang tersebut. Akhirnya kami berhasil mengeluarkan ibu itu," papar captain-pilot yang mulai bekerja di Garuda sejak 16 Maret 1980.

Abdul Rozaq yang pernah menjadi kopilot jumbo Boeing 747-200 (1987) dan instruktur Boeing 737 (1998) serta Captain DC-9 (1990), lebih lanjut menceritakan bahwa setelah impak dengan air, pesawat sempat meluncur kira-kira 100 meter sebelum berhenti. Jarak henti dengan jembatan di hadapannya sekitar 300 atau 500 meter atau nyaris kalau tidak membentur batu, pesawat mungkin akan menabrak tiang-tiang jembatan. Kebetulan pula, tempat hentinya pesawat, airnya dangkal, hanya sepinggul dalamnya.

"Berhentinya pesawat pun pendek sekali, kalah itu namanya maximum brake. Begitu menyentuh (air), des, des, des langsung berhenti! Kira-kira 200 sampai 300 meter. Saya pernah menggunakan maximum brake, itu masih kalah karena masih agak jauh sebelum pesawat berhenti," Abdul Rozaq memaparkan pengalamannya.

... Kecelakaan itu Part 2 ...

Bengawan Solo

Dijadikan Landasan GA-421



Kronologis ditching

Ko-pilot Heriyadi Gunawan kelahiran Kota Bandung, Jawa Barat, 28 Arpil 1955 yang juga berpembawaan kalem seperti Captain Abdul Rozaq, pernah mengalami flame out sebuah mesin Twin Otter Merpati yang diterbangkannya. Ko-pilot senior lulusan LPPU Curug Batch 23 (1976) ini, sebelum bergabung dengan Garuda pernah memegang pesawat Twin Otter dan pesawat turboprop Fokker F-27 Merpati Nusantara Airlines.

Suami Asmani dan ayah mahasiswi Sastra Jepang Unpad dan seorang putri kelas 2 SMU Al Azhar Bekasi, 10 tahun menjadi penerbang Merpati sebelum bergabung dengan Garuda pada 16 September 1982. Selain mengantungi type rating Boeing 737-300 (1997), sebelumnya ia telah pula meraih type rating pesawat badan lebar DC-10 (1988) dan MD-11 (1991).

Berikut adalah cuplikan dari laporan kronologis ditching GA-421 Heriyadi Gunawan yang telah mengantungi 17.137 jam terbang, 10.000 diantaranya kala ia berdinas di Merpati :

Pesawat B737 GA-421 berangkat dari Bandara Selaparang, Lombok, pada jam 08.32 UTC dengan komposisi dua awak kokpit dan empat awak kabin (minimum requirement). Mereka terdiri dari Captain-pilot Abdul Rozaq, Ko-pilot Harry Gunawan, awak kabin senior flight attendant Tuhu Wasono, senior flight attendant Frida Mersiati, junior flight attendant Riana Novita Boya dan junior flight attendant Santi Anggraeni.

Ketika berangkat dari Selaparang, kondisi cuaca sedikit mendung. Cuaca di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, dilaporkan sedikit berawan. Begitupun di rute perjalanan, berawan.

Pesawat GA-421 berangkat dengan membawa 54 penumpang dalam keadaan baik (tidak ada laporan kerusakan maupun complain yang lain).

Pada waktu pesawat naik menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki, di sekitar point Entas dan Surabaya, terlihat banyak awan. Captain Abdul Rozaq meminta langsung menuju Lasem, dan dikabulkan oleh Bali Control, yang juga menambahkan apabila sudah clear of weather, clear direct to BA (Blora).

Saat pesawat menjelang point Lasem, Bali Control meminta pesawat GA-421 untuk segera meninggalkan ketinggian 31.000 kaki dan turun ke 28.000 kaki karena ada traffic (dari Jakarta). Instruksi ini dipatuhi oleh awak pesawat.

Menjelang pesawat akan mulai descend meninggalkan ketinggian 28.000 kaki, terlihat di weather radar banyak gumpalan-gumpalan awan Cumulunimbus di sekitar BA, Purwo (Purwodadi), dan SOC (Solo). Namun masih ada sedikit celah di antara awan-awan tersebut. Captain Abdul Rozaq yang bertindak sebagai pilot flying mengarahkan pesawat menuju BA (Blora), sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Bali Control. Lalu pesawat mulai descend ke Fl 190 (19.000 kaki), atas perintah Bali Control.

Menjelang ketinggian 19.000 kaki (k.l. 23.000 kaki), Ko-pilot mengadakan kontak dengan Semarang Approach, dan mendapat clearance continue descend ke 9.000 kaki.

Pada saat itulah pesawat mulai memasuki awan Cb (Cumulunimbus). Sesaat kemudian mulai terasa guncangan-guncangan yang disertai hujan.

Kemudian guncangan-guncangan dirasakan semakin kuat dan hujan pun dirasakan semakin deras dan semakin kencang menerpa kaca depan pesawat. Namun pesawat sudah dipersiapkan untuk memasuki turbulence (speed 280 knots, engine ignition ke flight, engine anti ice on).

Pesawat berada di dalam awan kurang lebih lima menit. Tiba-tiba terdengar suara "Blep", dibarengi hilangnya suara mesin pesawat. Captain berteriak: "Ada apa ini", sambil menggerakkan thrust lever ke arah depan, namun tidak ada reaksi dari suara mesin.

Bersamaan dengan itu, Ko-pilot mengidentifikasi engine instrument. Terlihat N1, EGT (Exhaust Gas Temperature), Fuel Pressure menunjuk angka nol. Ia lalu memberitahu Captain bahwa terjadi both engine flame out.

Captain memerintahkan Ko-pilot untuk melakukan emergency check list dan langsung dikerjakan oleh Ko-pilot dengan melakukan memory item, yaitu menarik start lever ke posisi shut off.

Karena dari awal EGT menunjukkan angka nol, ketika Ko-pilot meletakkan start lever ke posisi idle detent, tidak ada reaksi apa-apa dari EGT mapun engine instrument lainnya.

Setelah menunggu sekitar satu menit tetap tidak ada reaksi dari mesin, Captain memerintahkan Ko-pilot untuk mengulang memory item.

Sambil menunggu reaksi dari mesin, Ko-pilot mencoba untuk menghidupkan APU. Namun tidak berhasil, malah keadaan semakin buruk dengan hilangnya sama sekali seluruh parameter (engine instrument, Captain dan F/O Flight Officer/Ko-pilot flight instrument, radio komunikasi, passenger address), sehingga sewaktu Ko-pilot meneriakkan "Mayday, Mayday, Mayday," tidak ada suara sama sekali. Bersamaan dengan itu pesawat terus menurun hingga mencapai 14.000 kaki dan masih dalam kondisi IMC (Instrument Meteorological Condition atau masih dalam awan-cuaca buruk).

Pada saat itu Ko-pilot melihat celah awan. Ia melihat cuaca agak terang di sebelah selatan, lalu memberitahu Captain untuk mengarah ke sana. Tidak mungkin dalam keadaan seperti itu untuk mempertahankan ketinggian, karena Grid (kotak) Mora (Minimum off-route altitude) di sekitar daerah itu adalah 13.500 kaki, dan Captain mengarahkan pesawat ke arah itu sehingga dapat melihat ke luar. Kemudian Ko-pilot menyarankan untuk terus mengarah ke selatan. Menurut peta situasi, arah menuju selatan adalah yang paling safe karena menuju ke arah laut. Perhitungannya, andaikata melakukan pendaratan darurat, bisa di laut, paling tidak di pantai, jauh dari daerah pegunungan.

Ketika pesawat pada ketinggian kurang lebih 8.000 kaki, berangsur-angsur cuaca mulai cerah dan jarak pandang pun semakin baik. Ko-pilot mengenali daerah itu sebagai kota Klaten. Captain yang diberitahu, lalu mulai mencari daerah untuk melakukan pendaratan darurat. Ko-pilot berinisiatif memanggil awak kabin lewat PA (Passenger Address), namun tidak ada yang menyahut. Tiba-tiba Tuhu Wasono memasuki kokpit. Ia bertanya tentang keadaan pesawat.

Captain memberitahukan keadaan darurat dan memerintahkan agar seluruh awak pesawat melakukan persiapan pendaratan darurat. Captain-pun sudah menemukan dan menentukan akan melakukan pendaratan di sungai yang berada agak sebelah kiri dari track pesawat. Ko-pilot memberitahu bahwa di sebelah timur kali terdapat sawah yang luas. Namun Captain berpendapat bahwa akan lebih baik mendarat di sungai daripada di sawah. Usulan ini diterima oleh Ko-pilot.

Setelah segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan pesawat tidak berhasil, saya merasa dekat sekali pada kematian. Saya sempat berdialog dengan Allah: "Ya Allah Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanmu, apabila Engkau akan memanggilku hari ini, saya ikhlas, saya pasrah, maafkanlah segala dosa saya, namun apabila ada jalan yang lebih baik dari itu, berilah kami yang terbaik."

Setelah melakukan beberapa manuver untuk menghilangkan ketinggian serta mengarah ke sungai, sampailah pesawat B737 dengan nomor penerbangan GA-421, mendarat secara darurat di sungai yang kemudian diketahui bernama sungai anak Bengawan Solo yang terletak di dusun Serenan, Juwiring, Klaten.

Setelah pesawat berhenti di sungai, segera diadakan evakuasi dibantu oleh penduduk sekitar lokasi. Captain menghubungi pihak Garuda, memberitahukan keadaan tersebut melalui handphone pribadi yang memang berfungsi dengan baik. Sementara Ko-pilot membantu awak kabin untuk mengevakuasi seluruh penumpang.

Hampir mirip

Itulah penerbangan kedua kali Heriyadi Gunawan bersama Abdul Rozaq yang berakhir di Sungai Bengawan Solo, kira-kira 20 kilometer dari Kota Solo. Mungkin yang hampir mirip dengan Flight GA-421 adalah penerbangan Boeing 737-300 milik TACA, maskapai Argentina, Mei 1988. Pesawat juga sewaktu menurunkan ketinggian, terperangkap dalam jenis awan sama dengan hujan es lebat hingga mengalami flame out kedua mesinnya. Pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat dekat New Orleans, AS. Tidak satu pun dari 41 penumpangnya cidera.

Menurut Flight International (22-28/1/02), setelah incident tersebut, pabrik mesin Snecma International memperingatkan para pilot untuk tidak men-set mesin pada posisi idle sewaktu melewati badai hujan dan petir. Namun dalam pemberitaan tersebut tidak dijelaskan dimana pesawat TACA mendarat darurat.

"Seperti Allah mengaturnya semua . Kalau pesawat belok ke kiri (waktu di air) akan lebih parah lagi, soalnya jauh dari penduduk karena di situ seperti hutan. Tapi kok ke kanan beloknya, di mana langsung ada jalan raya, mobil bisa masuk ke tepinya. Dan pas betul, juga ada mobil bak terbuka dan dekat puskesmas. Itu cepat menolong mereka yang dievakuasi. Lalu ada rumah kosong, ada kamar yang dijadikan tempat evakuasi barang," ujar captain-pilot.

"Rupanya Allah telah mengaturnya," ucap Captain Abdul Rozaq memanjatkan doa dan rasa syukur serta memuji kebesaranNya. (*)

... Kesaksian seorang Pilot ...

Kesaksian seorang Pilot



Saya membawa pesawat Boeing 737-300 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia rute bandara Selaparang, Lombok - bandara Adi Sucipto, Jogjakarta.

Pada ketinggian 23.000 kaki, pesawat memasuki awan hitam tebal yang mengandung petir dan menutupi pandangan mata. Ini berbahaya. Tidak ada pilihan lain kecuali menembusnya. Tiba - tiba mesin pesawat dua - duanya mati. Saya menyalakan generator untuk menghidupkan kembali kedua mesin yang mati tersebut, tetapi yang terjadi justru electricity power rusak. Pesawat lalu meluncur turun ke ketinggian 8000 kaki.

Saat pesawat meluncur itu, saya sudah berulang kali megirim pesan, "Mayday...mayday !" Tetapi jawaban tak kunjung datang dan akhirnya saya pasrah kepada kehendak Allah. Ketika kepasrahan itu menyeruak di relung hati saya yang paling dalam, saya kemudian bertakbir, " Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! "

Subhanallah,
tiba - tiba pesawat itu keluar dari kurungan awan dan saya bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapan saya. Saya sungguh merasa bahwa yang mengeluarkan pesawat saat itu dan kemudian menahan pesawat tetap stabil di udara tak lain adalah kekuasaan Allah, sebab mesin pesawat saat itu sama sekali tidak berfungsi.

Yang ada dalam benak saya saat itu adalah tumpukan dosa dan bayang - bayang kematian. Namun, saya menyadari bahwa kewajiban saya adalah membawa seluruh penumpang tetap dalam keadaan selamat. Keputusan yang kemudian saya ambil adalah menjadikan Bengawan Solo sebagai run way pendaratan. Ini juga sepenuhnya berasala dari Allah.

Saya tidak tahu darimana asalnya kekuatan yang bisa membuat saya memutar pesawat agar tidak menabrak jembatan besi yang membentang di sungai tersebut, kecuali juga dari Allah. Sebab power pesawat sudah mati. Allah pula yang menuntun saya mendaratkan pesawat di sisi dangkal sungai yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, sementara di sekitarnya kedalaman sungai kurang lebih 10 meter. Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi bila pesawat salah mendarat. Kesalahan itu akan membawa seluruh penumpang dan awak pesawat menemui ajalnya.

-----------------------
... Saat mengudara ribuan kaki diatas langit, tak ada orang yang bisa menolong bila terjadi kecelakaan. Bisa terbang dan mendarat dengan selamatitu kemungkinannya hanya beberapa persen, selebihnya adalah kemurahan ALLAH ...

( Di kutip dari penuturan Kapten Pilot Abdul Rozak, Pilot Garuda yang mengalami kecelakaan tahun 2002, pada majalah Hidayatullah edisi Juni 2008 )

... Pilot ...

PROFESI PILOT

PILOT – sebuah profesi yang sangat menakjubkan bagiku. Sebagai sebuah profesi yang menuntut keahlian/skill dalam mengemudikan sebuah pesawat, seorang pilot harus menempuh ujian resmi yang diadakan oleh sekolah penerbangan. Jika dinyatakan lulus dalam ujian, seorang pilot akan mendapat sertifikasi terbang, yaitu suatu surat pengakuan kemampuan sang pilot untuk menerbangkan pesawat dengan tipe dan ukuran tertentu.

Keahlian seorang pilot dalam menerbangkan pesawat komersial merupakan dasar utama yang menentukan kualitas seorang pilot. Faktor-faktor pendukung keahlian seorang pilot selain surat sertifikasi adalah jumlah jam terbang yang telah dimiliki. Keselamatan suatu penerbangan adalah tanggung jawab seorang pilot. Walaupun pada dasarnya bila sudah berada di udara, seorang pilot tidak lagi bisa dikatakan hebat, hanya karena kemampuannya saja, namun pertolongan dari ALLAH benar – benar mutlak bermain disini. Bagaimana tidak, kita sedang menggantungkan nasib pada sebuah burung besi buatan manusia dengan bobot yang tidak main – main dan melayang – layang di udara.

Dalam tugasnya di dalam kokpit pesawat, pilot dibantu oleh seorang ko-pilot. Selama penerbangan berlangsung semenjak take off hingga landing, pilot dan ko-pilot akan mengikuti jalur-jalur penerbangan yang telah terprogram melalui bantuan navigasi pesawat dan mengikuti informasi yang diberikan oleh menara kontrol lalu-lintas bandar udara. Ketelitian dan pemeliharaan pesawat yang baik oleh pihak maskapai sangat menentukan keselamatan penumpang.

Didalam sebuah penerbangan komersial, pilot dan ko-pilot bertugas mengemudikan pesawat sementara pramugari dan pramugara akan melayani kebutuhan para penumpang. Pilot, ko-pilot dan pramugari/pramugara adalah awak kabin pesawat. Berbeda dengan pesawat tempur yang sebagian besar hanya diawaki oleh seorang pilot saja. Dengan pesawat yang di lengkapi dengan panel – panel instrument yang lebih sederhana.

Pembicaraan yang dilakukan pilot, ko-pilot dengan petugas menara kontrol lalu-lintas dari dan ke sebuah bandar udara akan direkam oleh kotak hitam. Yang akan sangat berguna dalam penyelidikan bila pesawat mengalami kecelakaan.