... Aku dan Kekagumanku pada Pesawat ...

Dalam angan - angan manda kecil dulu, pesawat terbang, dan pilot adalah 2 hal yang sangat menakjubkan. Burung besi yang besar dan berat itu bisa terbang di udara. Dan sosok pilot adalah sosok yang paling di kagumi, apalagi setelah ia mengetahui betapa hebatnya sebuah pesawat tempur. Burung besi itu bisa meliuk - liuk dengan lincahnya di udara. Membawa persenjataan yang tak kalah beratnya. Manuver - manuver hebat yang membuat musuh tak berkutik. Sayangnya aku tidak di ijinkan untuk menjadi seorang Pilot. Tapi itu tidak menyurutkan rasa ingin tau ku terhadap teknologi pesawat, apapun, baik sipil maupun tempur. Dan sekarang aku berbagi di Blog ini …

Sunday, June 8, 2008

... Kecelakaan itu Part 1 ...

Bengawan Solo

Dijadikan Landasan GA-421





Mungkin kalau mendarat di sawah atau mencoba meneruskan sisa luncuran pesawat ke Yogyakarta, kota tujuannya, atau berusaha mendarat darurat di Kota Solo, cerita Flight GA-421 Boeing 737-300 Garuda Indonesia akan lain. Justru karena Captain-in-command Abdul Rozaq memutuskan ditching di Sungai Bengawan Solo, 99 persen jiwa penumpang GA-421 terselamatkan.

Saya buat sungai (Bengawan Solo) seolah-olah runway-nya," cerita captain asal Kudus, Jawa Tengah, 29 Maret mendatang akan genap 46 tahun kepada wartawan Angkasa Dudi Sudibyo, tentang penerbangan dramatis-traumatis Ampenan-Yogyakarta-Jakarta yang tak sempat ia tuntaskan, enam hari setelah kejadiannya. Rabu sore 16 Januari 2002 sekitar pukul 16.25 WIB, warga sekitar sungai dikejutkan oleh kehadiran tiba-tiba sosok Boeing 737 yang mendarat di sungai.

Badan pesawat intact utuh! Keutuhan tubuh pesawat itulah yang membuat empat awak pesawat dan 54 penumpang, termasuk tiga bayi terselamatkan. Hanya seorang pramugari, Santi Anggraeni (26) yang sudah mengantungi 4.156 jam terbang sejak direkrut Garuda Desember 1995, tewas akibat tersedot keluar badan pesawat bersama jump seat-nya. Akibat impak cukup keras antara bagian bawah perut belakang pesawat dengan air dimana kebetulan ada benda (diperkirakan batu besar), merobek bagian tersebut. Sekejab tiba-tiba tekanan udara hilang dalam kabin pesawat. Perubahan mendadak itu, menyedot keluar Santi. Pantry maupun barang dalam ruang kargo ikut pula tersedot keluar. Jenazah Santi ditemukan sekitar 1 kilometer dari lokasi pesawat.

Sebelum ditching di Sungai Bengawan Solo, Captain Abdul Rozaq, lulusan LPPU Curug Batch 28 1980, membuat dua kali circuit sebelum mendaratkan pesawat. "Pada usaha pertama (mendarat), saya lihat tidak saja dua tapi ada beberapa jembatan di sungai itu. Ada (bagian sungai) yang lurus antara dua jembatan, kira-kira panjangnya 1.500 meter. Itulah yang saya jadikan tempat pendaratan," ujar suami Istiqomah, pramugari Garuda satu course di Kemayoran, yang disuntingnya sekitar18 tahun silam. Mereka dikaruniai lima anak. Anak sulung, 17 tahun, ikut jejak ayahnya (SMP Islam Al Ma;ruf, Kudus, Jateng 1973) mengikuti pendidikan di salah satu pesantren di Bogor. Yang bungsu baru 15 bulan.

Menurut pengakuan Abdul Rozaq yang telah membukukan 14.020 jam dan 30 menit jam terbang dimana 5.600 jam di antaranya pada pesawat Boeing 737-300, kemudi pesawat amat berat dan ia telah mempersiapkan diri agar tidak terkena kemudinya itu sewaktu pendaratan. Rupanya Heriyadi Gunawan dengan side-burn (cambang rambut) mirip penyanyi tenar Elvis Presley, kurang siap sehingga mulutnya dibuat memar terkena alat tersebut. Flap maupun roda pendarat tidak pula digunakan. "Khawatir kalau roda diturunkan, selain drag, juga kemungkinan terkena batu sungai akan menjadi lebih fatal nanti," alasannya.

Sesuai prosedur, Rozaq mencurahkan konsentrasi mengemudikan dan mendaratkan pesawat 80 ton itu sejak mesin pesawat flame out sekitar ketinggian 19.000 kaki. Ia hanya menggunakan jasa aileron untuk pendaratan darurat yang menegangkan tersebut. Sementara pendampingnya, Ko-pilot Heriyadi Gunawan berusaha menghidupkan mesin, memonitor kecepatan dan ketinggian serta standby horizon alat satu-satunya yang masih berfungsi di samping kompas.

Namun belum jelas pula apakah pada saat genting tersebut, masker oksigen keluar secara otomatis seperti seharusnya. Baik Captain Abdul Rozaq maupun Ko-pilot Heriyadi Gunawan dalam jumpa pers seminggu kemudian, tidak menjelaskan masalah tersebut. Mereka pun belum bisa menjelaskan penyebab mendadak flame out (mati)-nya kedua mesin turbofan CFM56-3C-1 buatan CFM International, pabrik patungan General Electric (AS) dengan Snecma (Prancis). Diharapkan dari kedua kotak hitam FDR dan CVR yang telah dikirim ke AS untuk dibaca rekamannya, pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lain dapat terjawab.

Di set masuk ice condition

Menurut Abdul Rozaq, sebelum memasuki cuaca buruk saat menurun ke ketinggian 23.000 kaki, pesawat sudah di set untuk masuk cuaca turbulens dengan speed turbulens 280 knot. Sesuai prosedur, tanda seat-belt dinyalakan. "Anti-ice sudah on, jadi sudah siap untuk masuk ke icing condition," jelasnya.

Angkasa memperkirakan, salah satu faktor kontributor penyebab tiba-tiba kedua mesinnya mati adalah icing. Kemungkinan air terlalu banyak masuk ke dalam mesin. Kemungkinan lain, kemasukan debu Gunung Merapi seperti yang pernah dialami oleh jumbo Boeing 747 British Airways. Saat itu keempat mesinnya dibuat mati oleh letusan debu Gunung Galunggung. Meski kecil kemungkinan, mungkinkah karena kontaminasi bahan bakarnya? Semua itu masih harus dibuktikan dan diuji serta diteliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Dalam Flight GA-421, sudah jelas faktor cuaca memegang peranan besar bagi pendaratan ditching GA-421.

Sambil menurun, kedua awak kokpit mengharapkan prosedur menghidupkan mesin dengan cara windmill start envelope dapat membantu menyalakan mesin lagi. Meski fan blade-nya berputar, tetap tidak bisa membantu menghidupkan mesin. Kemudian dicoba dengan bantuan APU (Auxiliary Power Unit/generator listrik). Ini pun menurut Abdul Rozaq tidak berhasil, malah akhirnya membuat sisa tenaga listrik hilang.

Karena masih ketinggian, Rozaq membuat satu putaran lagi untuk menurunkan ketinggian dan memposisikan pesawat pada arah downwind (sejajar dengan "landasan"). "Kemudian saya masuk. Entah bagaimana, saya pun tidak mengerti, sudah mendaratkan pesawat (di air). Tidak pakai roda pendarat, tidak pakai flap segala macam karena memang kondisinya begitu," jelasnya.

"Waktu mendarat (dengan mendongakkan hidungnya ke atas sehingga bagian buntut menyentuh permukaan air lebih dahulu, Red), saya merasakan pesawat seperti kena benda, mungkin batu. Impaknya (dengan air), Alhamdullilah tidak sekeras impak hard landing sampai-sampai penumpang tidak merasakan (pendaratan hard landing). Kemudian terasa sebelah kiri (bawah) terkena batu yang membuat pesawat membelok ke kanan dimana ada tanggul dan pesawat langsung naik (di atasnya)," tutur Abdul Rozaq mengenai detik-detik pesawat mendarat dan berhenti.

Benturan dengan batu untuk kedua kali itu, membuat sobekan di perut kelas bisnis dimana seorang penumpang wanita terperosok di dalamnya. "Dari dalam lubang seperti sumur itu, kami semua membantunya keluar. Karena arusnya deras, jadi susah mengeluarkan ibu itu dari dalam lubang tersebut. Akhirnya kami berhasil mengeluarkan ibu itu," papar captain-pilot yang mulai bekerja di Garuda sejak 16 Maret 1980.

Abdul Rozaq yang pernah menjadi kopilot jumbo Boeing 747-200 (1987) dan instruktur Boeing 737 (1998) serta Captain DC-9 (1990), lebih lanjut menceritakan bahwa setelah impak dengan air, pesawat sempat meluncur kira-kira 100 meter sebelum berhenti. Jarak henti dengan jembatan di hadapannya sekitar 300 atau 500 meter atau nyaris kalau tidak membentur batu, pesawat mungkin akan menabrak tiang-tiang jembatan. Kebetulan pula, tempat hentinya pesawat, airnya dangkal, hanya sepinggul dalamnya.

"Berhentinya pesawat pun pendek sekali, kalah itu namanya maximum brake. Begitu menyentuh (air), des, des, des langsung berhenti! Kira-kira 200 sampai 300 meter. Saya pernah menggunakan maximum brake, itu masih kalah karena masih agak jauh sebelum pesawat berhenti," Abdul Rozaq memaparkan pengalamannya.

No comments: