... Aku dan Kekagumanku pada Pesawat ...

Dalam angan - angan manda kecil dulu, pesawat terbang, dan pilot adalah 2 hal yang sangat menakjubkan. Burung besi yang besar dan berat itu bisa terbang di udara. Dan sosok pilot adalah sosok yang paling di kagumi, apalagi setelah ia mengetahui betapa hebatnya sebuah pesawat tempur. Burung besi itu bisa meliuk - liuk dengan lincahnya di udara. Membawa persenjataan yang tak kalah beratnya. Manuver - manuver hebat yang membuat musuh tak berkutik. Sayangnya aku tidak di ijinkan untuk menjadi seorang Pilot. Tapi itu tidak menyurutkan rasa ingin tau ku terhadap teknologi pesawat, apapun, baik sipil maupun tempur. Dan sekarang aku berbagi di Blog ini …

Sunday, June 8, 2008

... Kecelakaan itu Part 2 ...

Bengawan Solo

Dijadikan Landasan GA-421



Kronologis ditching

Ko-pilot Heriyadi Gunawan kelahiran Kota Bandung, Jawa Barat, 28 Arpil 1955 yang juga berpembawaan kalem seperti Captain Abdul Rozaq, pernah mengalami flame out sebuah mesin Twin Otter Merpati yang diterbangkannya. Ko-pilot senior lulusan LPPU Curug Batch 23 (1976) ini, sebelum bergabung dengan Garuda pernah memegang pesawat Twin Otter dan pesawat turboprop Fokker F-27 Merpati Nusantara Airlines.

Suami Asmani dan ayah mahasiswi Sastra Jepang Unpad dan seorang putri kelas 2 SMU Al Azhar Bekasi, 10 tahun menjadi penerbang Merpati sebelum bergabung dengan Garuda pada 16 September 1982. Selain mengantungi type rating Boeing 737-300 (1997), sebelumnya ia telah pula meraih type rating pesawat badan lebar DC-10 (1988) dan MD-11 (1991).

Berikut adalah cuplikan dari laporan kronologis ditching GA-421 Heriyadi Gunawan yang telah mengantungi 17.137 jam terbang, 10.000 diantaranya kala ia berdinas di Merpati :

Pesawat B737 GA-421 berangkat dari Bandara Selaparang, Lombok, pada jam 08.32 UTC dengan komposisi dua awak kokpit dan empat awak kabin (minimum requirement). Mereka terdiri dari Captain-pilot Abdul Rozaq, Ko-pilot Harry Gunawan, awak kabin senior flight attendant Tuhu Wasono, senior flight attendant Frida Mersiati, junior flight attendant Riana Novita Boya dan junior flight attendant Santi Anggraeni.

Ketika berangkat dari Selaparang, kondisi cuaca sedikit mendung. Cuaca di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, dilaporkan sedikit berawan. Begitupun di rute perjalanan, berawan.

Pesawat GA-421 berangkat dengan membawa 54 penumpang dalam keadaan baik (tidak ada laporan kerusakan maupun complain yang lain).

Pada waktu pesawat naik menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki, di sekitar point Entas dan Surabaya, terlihat banyak awan. Captain Abdul Rozaq meminta langsung menuju Lasem, dan dikabulkan oleh Bali Control, yang juga menambahkan apabila sudah clear of weather, clear direct to BA (Blora).

Saat pesawat menjelang point Lasem, Bali Control meminta pesawat GA-421 untuk segera meninggalkan ketinggian 31.000 kaki dan turun ke 28.000 kaki karena ada traffic (dari Jakarta). Instruksi ini dipatuhi oleh awak pesawat.

Menjelang pesawat akan mulai descend meninggalkan ketinggian 28.000 kaki, terlihat di weather radar banyak gumpalan-gumpalan awan Cumulunimbus di sekitar BA, Purwo (Purwodadi), dan SOC (Solo). Namun masih ada sedikit celah di antara awan-awan tersebut. Captain Abdul Rozaq yang bertindak sebagai pilot flying mengarahkan pesawat menuju BA (Blora), sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Bali Control. Lalu pesawat mulai descend ke Fl 190 (19.000 kaki), atas perintah Bali Control.

Menjelang ketinggian 19.000 kaki (k.l. 23.000 kaki), Ko-pilot mengadakan kontak dengan Semarang Approach, dan mendapat clearance continue descend ke 9.000 kaki.

Pada saat itulah pesawat mulai memasuki awan Cb (Cumulunimbus). Sesaat kemudian mulai terasa guncangan-guncangan yang disertai hujan.

Kemudian guncangan-guncangan dirasakan semakin kuat dan hujan pun dirasakan semakin deras dan semakin kencang menerpa kaca depan pesawat. Namun pesawat sudah dipersiapkan untuk memasuki turbulence (speed 280 knots, engine ignition ke flight, engine anti ice on).

Pesawat berada di dalam awan kurang lebih lima menit. Tiba-tiba terdengar suara "Blep", dibarengi hilangnya suara mesin pesawat. Captain berteriak: "Ada apa ini", sambil menggerakkan thrust lever ke arah depan, namun tidak ada reaksi dari suara mesin.

Bersamaan dengan itu, Ko-pilot mengidentifikasi engine instrument. Terlihat N1, EGT (Exhaust Gas Temperature), Fuel Pressure menunjuk angka nol. Ia lalu memberitahu Captain bahwa terjadi both engine flame out.

Captain memerintahkan Ko-pilot untuk melakukan emergency check list dan langsung dikerjakan oleh Ko-pilot dengan melakukan memory item, yaitu menarik start lever ke posisi shut off.

Karena dari awal EGT menunjukkan angka nol, ketika Ko-pilot meletakkan start lever ke posisi idle detent, tidak ada reaksi apa-apa dari EGT mapun engine instrument lainnya.

Setelah menunggu sekitar satu menit tetap tidak ada reaksi dari mesin, Captain memerintahkan Ko-pilot untuk mengulang memory item.

Sambil menunggu reaksi dari mesin, Ko-pilot mencoba untuk menghidupkan APU. Namun tidak berhasil, malah keadaan semakin buruk dengan hilangnya sama sekali seluruh parameter (engine instrument, Captain dan F/O Flight Officer/Ko-pilot flight instrument, radio komunikasi, passenger address), sehingga sewaktu Ko-pilot meneriakkan "Mayday, Mayday, Mayday," tidak ada suara sama sekali. Bersamaan dengan itu pesawat terus menurun hingga mencapai 14.000 kaki dan masih dalam kondisi IMC (Instrument Meteorological Condition atau masih dalam awan-cuaca buruk).

Pada saat itu Ko-pilot melihat celah awan. Ia melihat cuaca agak terang di sebelah selatan, lalu memberitahu Captain untuk mengarah ke sana. Tidak mungkin dalam keadaan seperti itu untuk mempertahankan ketinggian, karena Grid (kotak) Mora (Minimum off-route altitude) di sekitar daerah itu adalah 13.500 kaki, dan Captain mengarahkan pesawat ke arah itu sehingga dapat melihat ke luar. Kemudian Ko-pilot menyarankan untuk terus mengarah ke selatan. Menurut peta situasi, arah menuju selatan adalah yang paling safe karena menuju ke arah laut. Perhitungannya, andaikata melakukan pendaratan darurat, bisa di laut, paling tidak di pantai, jauh dari daerah pegunungan.

Ketika pesawat pada ketinggian kurang lebih 8.000 kaki, berangsur-angsur cuaca mulai cerah dan jarak pandang pun semakin baik. Ko-pilot mengenali daerah itu sebagai kota Klaten. Captain yang diberitahu, lalu mulai mencari daerah untuk melakukan pendaratan darurat. Ko-pilot berinisiatif memanggil awak kabin lewat PA (Passenger Address), namun tidak ada yang menyahut. Tiba-tiba Tuhu Wasono memasuki kokpit. Ia bertanya tentang keadaan pesawat.

Captain memberitahukan keadaan darurat dan memerintahkan agar seluruh awak pesawat melakukan persiapan pendaratan darurat. Captain-pun sudah menemukan dan menentukan akan melakukan pendaratan di sungai yang berada agak sebelah kiri dari track pesawat. Ko-pilot memberitahu bahwa di sebelah timur kali terdapat sawah yang luas. Namun Captain berpendapat bahwa akan lebih baik mendarat di sungai daripada di sawah. Usulan ini diterima oleh Ko-pilot.

Setelah segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan pesawat tidak berhasil, saya merasa dekat sekali pada kematian. Saya sempat berdialog dengan Allah: "Ya Allah Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanmu, apabila Engkau akan memanggilku hari ini, saya ikhlas, saya pasrah, maafkanlah segala dosa saya, namun apabila ada jalan yang lebih baik dari itu, berilah kami yang terbaik."

Setelah melakukan beberapa manuver untuk menghilangkan ketinggian serta mengarah ke sungai, sampailah pesawat B737 dengan nomor penerbangan GA-421, mendarat secara darurat di sungai yang kemudian diketahui bernama sungai anak Bengawan Solo yang terletak di dusun Serenan, Juwiring, Klaten.

Setelah pesawat berhenti di sungai, segera diadakan evakuasi dibantu oleh penduduk sekitar lokasi. Captain menghubungi pihak Garuda, memberitahukan keadaan tersebut melalui handphone pribadi yang memang berfungsi dengan baik. Sementara Ko-pilot membantu awak kabin untuk mengevakuasi seluruh penumpang.

Hampir mirip

Itulah penerbangan kedua kali Heriyadi Gunawan bersama Abdul Rozaq yang berakhir di Sungai Bengawan Solo, kira-kira 20 kilometer dari Kota Solo. Mungkin yang hampir mirip dengan Flight GA-421 adalah penerbangan Boeing 737-300 milik TACA, maskapai Argentina, Mei 1988. Pesawat juga sewaktu menurunkan ketinggian, terperangkap dalam jenis awan sama dengan hujan es lebat hingga mengalami flame out kedua mesinnya. Pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat dekat New Orleans, AS. Tidak satu pun dari 41 penumpangnya cidera.

Menurut Flight International (22-28/1/02), setelah incident tersebut, pabrik mesin Snecma International memperingatkan para pilot untuk tidak men-set mesin pada posisi idle sewaktu melewati badai hujan dan petir. Namun dalam pemberitaan tersebut tidak dijelaskan dimana pesawat TACA mendarat darurat.

"Seperti Allah mengaturnya semua . Kalau pesawat belok ke kiri (waktu di air) akan lebih parah lagi, soalnya jauh dari penduduk karena di situ seperti hutan. Tapi kok ke kanan beloknya, di mana langsung ada jalan raya, mobil bisa masuk ke tepinya. Dan pas betul, juga ada mobil bak terbuka dan dekat puskesmas. Itu cepat menolong mereka yang dievakuasi. Lalu ada rumah kosong, ada kamar yang dijadikan tempat evakuasi barang," ujar captain-pilot.

"Rupanya Allah telah mengaturnya," ucap Captain Abdul Rozaq memanjatkan doa dan rasa syukur serta memuji kebesaranNya. (*)

No comments: